Seseorang Dilarang Meminang Pinangan Saudaranya, Orang Tua Menawarkan Puterinya
SESEORANG DILARANG MEMINANG PINANGAN SAUDARANYA
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang seseorang meminang atas pinangan saudaranya. Terdapat sejumlah hadits mengenai hal itu, akan kami sebutkan di antaranya:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu menuturkan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sebagian kalian membeli apa yang dibeli saudaranya, dan tidak boleh pula seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau peminang mengizinkan kepadanya.”[1]
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Abdurrahman bin Syamasah, bahwa dia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berdiri di atas mimbar seraya berucap: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ.
‘(Seorang) mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan tidak pula meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya.’”[2]
Seseorang yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan (menyebabkan) permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَكُوْنُوْا إِخْوَانًا، وَلاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى حِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ.
“Janganlah kalian berprasangka, karena prasangka itu adalah seburuk-buruk pembicaraan. Jangan mencari-cari kesalahan orang dan jangan saling bermusuhan, serta jadilah kalian sebagai orang-orang yang bersaudara. Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga dia menikah atau meninggalkannya.”[3]
Al-Hafizh berpendapat dalam al-Fat-h, bahwa larangan ini untuk pengharaman, ia mengatakan: “Menurut jumhur, larangan ini untuk pengharaman…” lalu beliau menambahkan: “Larangan ini menurut mereka untuk pengharaman, tetapi tidak membatalkan akad.”
Bahkan, Imam an-Nawawi meriwayatkan bahwa larangan dalam hadits ini untuk pengharaman berdasarkan ijma’. Tetapi mereka berselisih mengenai syarat-syaratnya.
Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pengharaman ini berlaku jika wanita yang dipinang menyatakan secara tegas atau walinya yang dia izinkan. Jika yang kedua tidak mengetahui perihal tersebut, maka boleh meminangnya karena pada asalnya adalah dibolehkan.
Menurut Imam asy-Syafi’i, makna hadits dalam bab ini ialah bila seorang pria meminang wanita lalu ia ridha dengannya dan (hatinya merasa) mantap kepadanya, maka tidak boleh seorang pun melamar pinangannya. Jika seseorang tidak mengetahui kerelaannya dan kemantapan pilihannya, maka tidak mengapa dia meminangnya. Hujjah dalam perkara ini ialah kisah Fathimah binti Qais.[4]
Pertanyaan:
Apa balasan bagi orang yang merusak hubungan wanita dengan suaminya?
Jawaban:
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ حَلَفَ بِاْلأَمَانَةِ، وَمَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوْكَهُ، فَلَيْسَ مِنَّا.
‘Bukan termasuk golongan kami siapa yang bersumpah ‘demi amanah’, dan barangsiapa yang merusak hubungan seseorang dengan isterinya atau hamba sahaya yang dimilikinya, maka ia bukan golongan kami.`”[5]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang hukum merusak hubungan wanita dengan suaminya: “(Perbuatan) ini termasuk salah satu dosa besar. Sebab, jika syari’at melarang meminang pinangan saudaranya, maka bagaimana halnya dengan orang yang merusak isterinya, hamba sahaya wanitanya atau hamba sahaya laki-lakinya, serta berusaha memisahkan di antara keduanya sehingga dia bisa berhubungan dengannya. Perbuatan dosa ini tidak kurang dari perbuatan keji (zina), walaupun tidak melebihinya, dan hak yang lain tidak gugur dengan taubat dari kekejian. Karena taubat, meskipun telah menggugurkan hak Allah, namun hak hamba masih tetap (ada). Menzhalimi seseorang (suami) dengan merusak isterinya dan kejahatan terhadap ranjangnya, hal itu lebih besar dibanding merampas hartanya secara zhalim. Bahkan, tidak ada (hukuman) yang setara di sisinya kecuali (dengan) mengalirkan darahnya.”[6]
Syaikhul Islam rahimahullah ditanya tentang wanita yang berpisah dengan suaminya, lalu seseorang meminangnya dalam masa ‘iddahnya dan ia memberi nafkah kepadanya: “Apakah itu dibolehkan ataukah tidak?”
Beliau menjawab: “Segala puji hanya milik Allah. Jelas-jelas (seseorang) tidak boleh meminang wanita yang masih dalam ‘iddah dengan tegas, walaupun dalam ‘iddah karena (ditinggal) wafat, berdasarkan kesepakatan kaum muslimin; maka bagaimana halnya dalam ‘iddah perceraian? Barangsiapa yang melakukan demikian, ia berhak mendapatkan hukuman yang membuatnya dan orang-orang yang semisalnya menjadi jera dari perbuatan itu. Dan hukuman itu diberikan kepada orang yang meminang maupun yang dipinang, semua diberi hukuman, dan dilarang menikahkan dengan-nya sebagai hukuman baginya karena niatnya yang batal, wallaahu a’lam.”[7]
Beliau juga ditanya tentang laki-laki yang mentalak isterinya dengan talak tiga. Setelah menyelesaikan ‘iddahnya di sisinya, ia keluar. Setelah itu, ia menikah dan dicerai pada hari itu juga. Orang yang menalaknya tidak mengetahui kecuali pada hari kedua, apakah dia boleh bersepakat bersama wanita itu jika telah menyelesaikan ‘iddahnya, maka ia akan rujuk kepadanya?
Beliau menjawab: “Ia tidak boleh meminangnya di masa ‘iddah dari (suami) selainnya, dan tidak boleh pula memberi nafkah kepadanya untuk menikahinya. Jika talak itu talak raj’i, maka ia tidak boleh melamar dengan sindiran. Jika talaknya adalah talak ba’in, maka kebolehan meminang dengan sindiran diperselisihkan. Kondisi tersebut jika wanita ini menikah dengan nikah raghbah (atas dasar suka). Adapun jika dia menikah dengan nikah tahlil, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat muhallil dan muhallal lahu .
MASALAH DALAM PEMINANGAN.
Sudah menggejala di tengah umat Islam mengenai keluarnya peminang bersama wanita pinangannya tanpa akad, dan mereka duduk berduaan. Perhatikan, apa yang terjadi akibat perbuatan ini? Oleh karena itu, untuk menambah manfaat, kami merasa perlu meletakkan beberapa pertanyaan yang berisikan jawaban sebagian ulama mengenai hal itu:
1. Hubungan Kasih Sayang Sebelum Pernikahan (Pacaran).
Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Apa pandangan agama tentang hubungan sebelum perkawinan (pacaran)?”
Beliau menjawab: “Pernyataan penanya “sebelum menikah”, jika yang dia dimaksud adalah sebelum “mencampuri” dan sesudah akad, maka ini tidak berdosa. Karena dengan akad, ia sudah menjadi isterinya, meskipun belum melakukan persetubuhan. Adapun sebelum akad, pada saat lamaran atau sebelum itu, maka ini diharamkan dan tidak dibolehkan. Tidak boleh seseorang bermesraan bersama wanita yang bukan isterinya, baik berbicara, memandang maupun berduaan. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
لاَ يَخْلُوْنَ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ، وَلاَ تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ.
‘Janganlah seseorang berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, dan janganlah wanita bepergian kecuali bersama mahramnya.’[10]
Walhasil, jika berkumpul ini setelah akad, maka tidaklah ber-dosa. Jika ini dilakukan sebelum akad walaupun setelah peminangan dan pinangannya diterima, maka ini (pun) tidak boleh. Perbuatan ini haram baginya, karena wanita ini masih tergolong orang lain, hingga ia mengikatnya (dengan ikatan pernikahan).”[11]
2. Hukum Peminang Duduk Bersama Wanita Pinangannya.
Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Aku telah meminang wanita dan aku membacakan ke-padanya 20 juz al-Qur-an selama masa peminangan, alhamdulillaah. Aku duduk bersamanya dengan keberadaan mahram, sedangkan ia tetap memakai hijab syar’i, alhamdulillaah, dan duduk kami tidak keluar dari pembicaraan agama atau membaca al-Qur-an, dan juga waktu duduk tersebut sangatlah pendek; apakah ini kesalahan menurut syari’at?”
Beliau menjawab: “Ini tidak sepatutnya dilakukan. Karena pada umumnya perasaan seseorang bahwa teman duduknya adalah pinangannya dapat membangkitkan syahwatnya. Luapan syahwat kepada selain isteri dan sahaya wanitanya adalah haram, dan segala apa yang dapat membawa kepada keharaman adalah haram.”[12]
3. Sekedar Dipinang Tidak Dilarang Menikahkannya dengan Selain Peminang.
Syaikh Muhammad bin Ibahim Alusy Syaikh rahimahullah ditanya tentang seseorang yang datang dengan membawa saudara perempuan sekandungnya, sedangkan dia telah dipinang oleh seorang pria di negerinya, Yaman. Hari itu saudaranya ingin menikahkannya di Tha-if; apakah sah menikahkannya padahal dia telah dipinang?
Beliau menjawab: “Alhamdulillaah, selagi wanita ini belum dipertalikan dengan pria yang melamarnya dengan akad pernikahan, maka sekedar lamarannya saja kepadanya tidak menghalanginya untuk menikahkannya dengan selainnya.”[13]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5142) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1412) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1292) kitab al-Buyuu’, an-Nasa-i (no. 3243) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2081) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 2171) kitab at-Tijaaraat, Ahmad (no. 4708), Malik (no. 1112) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2176) kitab an-Nikaah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5142) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2176) kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5143) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2563).
[4]. Fat-hul Baari (IX/199).
[5]. HR. Ahmad (no. 22471), al-Hakim (IV/298), ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi; Abu Dawud (no. 3253) kitab al-Aimaan wan Nudzuur, dan dishahihkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib (V/385).
[6]. Dinukil dari al-Manawi dalam Faidhul Qadiir (V/385).
[7]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/8).
[8]. Takhrijnya telah disebutkan sebelumnya.
[9]. Majmuu’ Fataawa (XXXII/8).
[10].Telah disebutkan takhrijnya sebelumnya.
[11]. Al-Muslimuun (hal. 10).
[12]. Faatawaa asy-Syaikh Ibni ‘Utsaimin (II/748).
[13]. Fataawaa wa Rasaa-il Samahatisy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh (X/56-57).
ORANG TUA MENAWARKAN PUTERINYA ATAU YANG DI BAWAH PERWALIANNYA KEPADA LAKI-LAKI SHALIH
Seorang laki-laki tua yang shalih berkata kepada Musa Alaihissallam:
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.” [Al-Qashash/28: 27].
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menawarkan puterinya, Hafshah Radhiyallahu anhuma kepada laki-laki terbaik umat ini. Kita dengarkan penuturan darinya.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma menuturkan, ketika Hafshah binti ‘Umar menjanda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi; ia seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggal di Madinah, maka ‘Umar mengatakan: “Aku datang kepada ‘Utsman lalu aku menawarkan Hafshah kepadanya, tapi dia mengatakan: ‘Aku akan melihat urusanku.’ Setelah beberapa hari kemudian, dia datang kepadaku seraya mengatakan: ‘Tampaknya aku tidak menikah pada saat ini.’ ‘Umar melanjutkan: “Kemudian aku datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu aku katakan: ‘Jika engkau suka, aku menikahkanmu dengan Hafshah binti ‘Umar.’ Tetapi Abu Bakar diam dan tidak memberikan jawaban apa pun. Aku lebih marah kepadanya dibanding kemarahanku atas ‘Utsman. Setelah beberapa hari kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminangnya, lalu aku menikahkannya dengan beliau. Kemudian Abu Bakar menemuiku, lalu mengatakan: ‘Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau menawarkan Hafshah dan aku tidak memberikan jawaban apa pun.’ Aku menjawab: ‘Ya.’
Abu Bakar berkata: ‘Tidak ada yang menghalangiku untuk memberi jawaban kepadamu tentang apa yang engkau tawarkan kepadaku, melainkan karena aku telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Hafshah. Dan aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka aku menerimanya.`”[1]
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini: “Hadits ini berisi anjuran agar manusia menawarkan puterinya atau selainnya dari wanita yang berada di bawah perwalian kepada orang yang diyakini kebaikan dan keshalihannya, karena di dalamnya terdapat manfaat yang akan kembali kepada wanita yang ditawarkan kepadanya. Dan tidak boleh malu mengenai hal itu.[2]
Berikut ini (kisah) salah satu dari hamba Allah yang shalih yang menikahkan anak gadisnya kepada pemuda shalih tanpa melihat kepada materi yang telah dijadikan (ukuran) oleh kebanyakan orang dalam menikahkan anak-anak puteri mereka dengan pria fasik lagi gemar berbuat maksiat.
Dalam biografi hamba yang shalih, Sa’id bin al-Musayyab, disebutkan bahwa ‘Abdul Malik bin Marwan meminang puterinya untuk puteranya, al-Walid, ketika ia mengangkatnya sebagai putera mahkota. Tapi Sa’id menolak untuk menikahkan puterinya dengannya. Abu Wada’ah berkata: “Aku biasa berteman dengan Sa’id bin al-Musayyab, lalu ia kehilanganku selama beberapa hari. Ketika aku datang kepadanya, ia bertanya: ‘Dimana engkau berada?’ Aku menjawab: ‘Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk.’ Ia mengatakan: ‘Mengapa tidak memberitahukan kepada kami sehingga kami bisa menyaksikan jenazahnya?’ Ketika aku hendak bangkit, ia bertanya: ‘Apakah engkau sudah mendapatkan wanita selainnya?’ Aku menjawab: ‘Semoga Allah merahmatimu. Adakah orang yang akan menikahkanku (dengan puterinya), sedangkan aku tidaklah memiliki (harta) kecuali dua atau tiga dirham?’ Ia mengatakan: ‘Jika aku yang melakukannya, apakah engkau menerimanya?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Kemudian ia memuji Allah dan bershalawat atas Nabi, lalu menikahkanku dengan mahar dua atau tiga dirham. Aku berdiri dan aku tidak tahu apa yang aku lakukan dengan kegembiraan ini. Aku kembali ke rumahku dan mulai memikirkan dari siapa aku mencari pinjaman? Aku melakukan shalat Maghrib. Saat itu aku berpuasa, maka aku mendahulukan makan malamku untuk berbuka. Makan malam tersebut ialah roti dan minyak. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, maka aku bertanya: ‘Siapa?’ Ia menjawab: ‘Sa’id.’ Maka Aku membayangkan setiap orang yang bernama Sa’id, kecuali Sa’id bin al-Musayyab. Sebab, ia tidak pernah terlihat sejak 40 tahun kecuali antara rumahnya dan masjid. Aku pun berdiri dan keluar, ternyata Sa’id bin al-Musayyab. Aku menyangka bahwa ia muncul karenanya, maka aku bertanya: ‘Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau tidak mengirim orang lain kepadaku lalu aku datang kepadamu?’ Ia menjawab: ‘Tidak, engkau berhak untuk dikunjungi.’ Aku bertanya: ‘Apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’ Ia menjawab: ‘Engkau adalah seorang duda yang telah menikah, maka aku tidak suka engkau bermalam sendirian. Ini adalah isterimu.’ Ternyata dia berdiri di belakangnya, karena Sa’id berpostur tinggi (sehingga puterinya tidak terlihat). Kemudian dia menyerahkannya di pintu dan menutup pintu kembali, lalu wanita ini jatuh karena malu. Lalu aku mengikat pintu, kemudian aku naik ke loteng dan memanggil para tetangga. Mereka berdatangan dan bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab: ‘Sa’id bin al-Musayyab menikahkanku dengan puterinya. Ia sudah datang dengan membawa puterinya yang shalihah, dan sekarang berada di dalam rumah.’ Mereka pun turun untuk menerimanya dan kabar ini sampai kepada ibuku sehingga dia datang seraya berkata: ‘Aku tidak akan melihat wajahmu jika engkau menyentuh (menggauli)nya sebelum aku mempersiapkannya selama tiga hari.’ Aku pun menunggu selama tiga hari, kemudian aku menemuinya, ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal Kitabullah, paling mengetahui tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling mengetahui hak suami. Selama sebulan Sa’id tidak datang kepadaku dan aku pun tidak datang kepadanya. Kemudian aku datang kepadanya setelah peristiwa itu berlangsung sebulan, saat dia berada di halaqahnya, aku mengucapkan salam kepadanya dan dia menjawab salamku. Dia tidak berbicara kepadaku hingga orang-orang yang berada di masjid telah pergi. Ketika tidak ada lagi seorang pun kecuali aku, dia bertanya: ‘Bagaimana kedaan orang itu?’ Aku menjawab: ‘Dalam keadaan yang disukai oleh Sahabat dan dibenci oleh musuh.`”[3]
Betapa tenteramnya hati Tabi’i yang mulia ini terhadap “masa depan” anaknya, sehingga dia tidak berfikir untuk memperhatikan keadaannya. Karena dia merasa tenteram bahwa puterinya berada dalam belaian laki-laki bertakwa yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengetahui hak puterinya atasnya, serta kedudukannya di sisinya.[4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar menikahkan puteri-puteri kita dengan orang-orang shalih. Karena jika orang shalih menyukainya, maka dia akan memuliakannya dan jika tidak menyukainya, maka dia tidak akan menghinakan dan tidak akan menzhaliminya. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُـمْ مَنْ تَرْضَـوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَـزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ.
‘Jika ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya meminang puteri kalian, maka nikahkanlah ia (dengan puterimu); jika kalian tidak melakukannya, maka fitnah di bumi dan kerusakan yang besar akan terjadi.`”[5]
Syaikh al-Mubarakfuri berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi tentang sabda beliau: “Dan kerusakan yang besar”: “Sebab, jika kalian tidak menikahkannya kecuali dengan orang yang berharta atau berpangkat, mungkin kebanyakan wanita-wanita masih tetap tidak bersuami atau kebanyakan pria kalian tidak beristeri. Akibatnya, fitnah zina akan merajalela. Jika seseorang hendak menikahkan puterinya, maka dia harus memperhatikan empat perkara, menurut pendapat jumhur, hendaklah ia memperhatikan agama, nasab, dan perbuatannya. Jangan menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir atau wanita shalihah dengan pria fasik, dan jangan pula wanita merdeka dengan pria hamba sahaya. Jika wanita tersebut atau walinya ridha meskipun tidak sekufu’ (sederajat), maka pernikahannya sah.”[6]
Di antara hal yang patut disebutkan di sini ialah kisah pernikahan ayah dari Imam al-‘Azhim ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah yang diberkahi. Ia adalah orang Turki dan hamba sahaya milik seorang pedagang Khawarizmi dari Hamdzan dari Bani Hanzhalah. Ia seorang yang bertakwa lagi shalih, banyak menghabiskan waktu untuk beribadah, suka berkhalwat (menyendiri dalam rangka beribadah) dan sangat wara’. Di antara kisahnya bahwa dia sedang bekerja di kebun tuannya, dan bermukim di sana selama beberapa waktu lamanya. Kemudian tuannya, pemilik kebun ini, suatu hari datang kepadanya. Ia mengatakan kepadanya: “Aku ingin buah delima yang manis.” Ia pun pergi ke sebuah pohon dan menghidangkan beberapa buah delima kepadanya. Setelah membelahnya dan merasakannya asam, ia marah kepadanya seraya mengatakan: “Aku meminta yang manis, tapi kenapa engkau menghidangkan yang asam? Ambilkan yang manis.” Ia pun pergi dan memetik dari pohon yang lain. Ketika tuannya membelahnya dan masih juga merasakannya asam, maka dia semakin marah kepadanya. Ia melakukan hal itu ketiga kalinya, lalu dia mencicipinya, dan masih juga merasakannya asam, maka dia bertanya kepadanya sesudah itu: “Apakah Engkau tidak bisa membedakan antara yang manis dan yang asam?” Ia menjawab: “Tidak.” Dia bertanya: “Mengapa demikian?” Ia menjawab: “Karena aku tidak pernah makan darinya sedikitpun sehingga aku mengetahui.” Dia bertanya: “Mengapa engkau tidak memakannya?” Ia menjawab: “Karena engkau tidak mengizinkanku untuk memakannya.” Mendengar hal ini, pemilik kebun ini heran. Dia mengorek kebenaran hal itu, ternyata dia benar, sehingga ia menjadi mulia di matanya dan kemuliaannya bertambah di sisinya. Dia mempunyai anak gadis yang sering dilamar orang lain; maka dia bertanya kepadanya: “Wahai Mubarak, menurutmu kepada siapa wanita ini dinikahkan?” Ia menjawab: “Kaum Jahiliyyah menikahkan karena kedudukan, kaum Yahudi menikahkan karena harta, kaum Nasrani menikahkan karena ketampanan/kecantikan, dan umat ini menikahkan karena agama.” Akalnya begitu mengagumkannya. Dia pun pergi lalu mengabarkannya kepada isterinya dan mengatakan kepadanya: “Aku tidak melihat seorang (calon) suami yang lebih tepat untuk puteriku ini selain Mubarak.” Akhirnya dia menikahkan puterinya dengan Mubarak sehingga lahirlah ‘Abdullah bin al-Mubarak. Sempurnalah keberkahan ayahnya, dan Allah menumbuhkannya sebagai ‘tumbuhan’ yang baik.[7]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5122) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3248) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 75).
[2]. Fat-hul Baari (IX/178).
[3]. ‘Audatul Hijaab (II/582), dan dinisbatkan kepada kitab Min Akhlaaqil ‘Ulamaa’, Muhammad Sulaiman (hal. 123-125).
[4]. ‘Audatul Hijaab (II/582).
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 1090), kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 865) dan al-Irwaa’ (no. 1668).
[6]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jaami’ at-Tirmidzi (IV/173).
[7]. ‘Audatul Hijaab (II/358), dan menisbatkannya kepada kitab ‘Uyuunul Akhbaar, karya Ibnu Qutaibah (IV/17), Wafayaatul A’yaan, Ibnu Khalkan (II/237), Syadz-dzaraatudz Dzahab, karya Ibnul ‘Imad (I/296), Mir-aatul Janaan, karya al-Yafi’i (I/379).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3555-seseorang-dilarang-meminang-pinangan-saudaranya-orang-tua-menawarkan-puterinya.html